Rumah pengasingan Bung Karno ini awalnya tempat tinggal orang China bernama Tan Eng Cian, pengusaha penyuplai bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda.
Soekarno menempati rumah tersebut dari tahun 1938 hingga 1942, yang disewa oleh orang Belanda untuk Bung Karno selama diasingkan di Bengkulu.
Penjajah Kolonial Belanda mengirim Soekarno ke Bumi Raflesia yang saat itu sangat terpencil dan merupakan wilayah eks-kolonialisme Inggris, ditukar guling oleh Belanda dengan pulau kecil Singapura di Selat Malaka.
Rumah yang dibangun pada awal abad ke-20 ini berbentuk empat persegi panjang. Bangunan ini tidak berkaki dan berdinding polos, berbentuk jendela persegi panjang dan berdaun pintu ganda. Luas bangunan rumah sekitar 162 M2, dengan ukuran 9 x 18 M. Luas keseluruhan mencapai 4 hektare.
Rumah pengasingan Bung Karno berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Mas, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Letaknya yang berada di pusat Kota Bengkulu, membuat rumah pengasingan Bung Karno mudah untuk diakses.
Dari Bandara Fatmawati Bengkulu, pengunjung dapat menggunakan bus, taksi atau mobil sewaan. Sedangkan jika berangkat dari Terminal Bus Kota Bengkulu, bisa menggunakan bus kota jurusan Jalan Soekarno-Hatta, turun di Kelurahan Anggut Mas.
Di dalam rumah pengasingan ini tersimpan benda-benda peninggalan Bung Karno, yang memiliki nilai sejarah. Benda-benda tersebut merupakan saksi bisu yang menemani Sang Proklamator dalam menyusun strategi-strategi perjuangan selama di pengasingan.
Tabengan yang berkesempatan mengunjungi rumah pengasingan itu, Jumat (25/11) tadi, menyaksikan, meskipun rumah ini tidak terbilang besar, namun pembagian ruang dan penataan benda-benda berharga cukup rapi dan teratur.
Di teras, selain meja dan kursi, ada 2 lemari kecil, 1 untuk menyimpan berbagai jenis souvenir dan 1 lagi menjadi tempat menyimpan makanan khas Bengkulu dan berbagai jenis kue lainnya.
Bergeser sedikit ke dalam, pengunjung dapat menjumpai sepasang kursi tua. Di sisi kanan terdapat 3 buah kamar dan di sisi kiri terdapat 2 kamar tidur. Di dalam kamar tidur terdapat ranjang besi yang merupakan tempat tidur Bung Karno.
Di dalam 1 dari 3 kamar lainnya, yang terletak di bagian depan, terpajang duplikat sepeda tua, kendaraan yang bisa dipakai Bung Karno untuk bepergian ketika itu.
Di kamar paling tengah, terdapat sebuah lemari gandeng berukuran 2 x 1,5 meter, tempat koleksi buku Bung Karno sebanyak 320 buah dipajang. Deretan buku-buku tebal tersebut meliputi perbagai jenis, seperti karya sastra klasik, ensikplopedia, data kepemimpinan Jong Java hingga Alkitab Pemuda Katolik.
“Bung Karno adalah seorang nasional, tidak memandang suku maupun agama. Terbukti, dalam pengasingan dia juga mempelajari tentang agama Katolik,” ungkap Dedy, pemandu wisata di rumah itu.
Sebuah lemari pakaian menyimpan pakaian dan beberapa benda bekas pemain sandiwara kelompok Tonil Monte Carlo ketika itu, seperti kebaya dan payung tua, terbuat dari kertas. “Sandiwara yang dimainkan kelompok Tonil Monte Carlo, merupakan hiburan sehari-hari Bung Karno,’’ kisah Dedy lagi.
Kamar terakhir, pada bagian belakang, tampak kosong, tapi pada setiap bagian dinding terpajang bingkai-bingkai foto berukuran besar, tampak foto Bung Karno bersama ibu Inggit, dan keluarga serta kerabatnya yang lain, termasuk foto Fatmawati yang ketika itu baru beranjak dewasa.
Pada bagian belakang rumah terdapat beranda dengan sepasang kursi santai. Di bagian belakang kanan terdapat bangunan yang memanjang ke belakang, terdiri atas 5 petak, di antaranya kamar kecil atau kamar mandi.
Di sela kedua bangunan inilah terdapat sebuah sumur yang umurnya hampir sama dengan rumah tersebut. Keberadaan sumur tersebut, sangat menarik perhatian pengunjung, karena memiliki cerita tersendiri.
Konon kabarnya, air sumur ini banyak membawa berkah bagi orang yang pernah cuci muka atau berwudu, sehingga banyak pejabat, artis dan pengusaha yang sukses setelah cuci muka dengan air sumur ini. Wallahualam bissawab, bunyi tulisan yang tertera di sekitar sumur tersebut.
Benar atau tidaknya, menurut penuturan Dedy, hampir sebagian besar pengunjung memanfaatkan air sumur tersebut. Percaya atau tidak pula, air sumur itu konon tidak pernah kering, meski kemarau panjang berlangsung sampai 9 bulan. “Sumur milik masyarakat di sekitar semuanya kering, namun sumur ini tidak,’’ ujar Dedy.Kutipan : Harian Umum Tabengan - Selasa, 30 November 2011
Categories:
News